Pengertian Dan Dampak Romusha Pada Masa Penjajahan Jepang
ROMUSHA
1.
Latar
belakang terjadinya Romusha.
Romusha
("rōmusha": "buruh", "pekerja") adalah panggilan
bagi orang-orang Indonesia yang dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan
Jepang di Indonesia dari tahun 1942 hingga 1945. Romusha adalah sebuah
kata Jepang yang berarti semacam “serdadu kerja”, yang
secara harfiah diartikan sebagai seorang pekerja yang
melakukan pekerjaan sebagai buruh kasar. Tujuan Jepang
melakukan tanam paksa atau Romusha yaitu, untuk persiapan perang Asia Timur
Raya serta memenuhi kebutuhan tentara jepang, untuk lebih jelasnya lagi akan di
bahas sebagai berikut: Pada mulanya tugas-tugas yang dilakukan itu bersifat
sukarela dan pengerahan tenaga tersebut tidak begitu sukar dilakukan karena
orang masih terpengaruh oleh propaganda “untuk kemakmuran bersama Asia Timur
Raya”.
Luasnya daerah pendudukan
Jepang, menyebabkan Jepang memerlukan tenaga kerja yang sebanyak-benyaknya
untuk membangun sarana pertahanan berupa kubu-kubu pertahanan, lapangan udara
darurat, gudang bawah tanah, jalan raya dan jembatan. Kebanyakan romusha adalah
petani, dan sejak Oktober 1943 pihak Jepang mewajibkan para petani menjadi
romusha. Mereka dikirim untuk bekerja di berbagai tempat di Indonesia serta
Asia Tenggara seperti Birma, Muangthai, Vietnam, Malaysia, danSerawak.
2. Ketenaga kerjaan Romusha
Dalam sidangnya yang
pertama, Chuo Sangi In mengusulkan beberapa syarat antara
lain supaya dibentuk badan-badan yang memotivasi rakyat menjadi
tenaga sukarela, melalui kerja sama dengan bupati, wedana, camat dan
kepala desa untuk pengerahan tenaga kerja (buruh) sekarela
diperusahaan-perusahaan bala tentara Jepang. Namun dalam pelaksanaannya
persyaratan yang disampaikan oleh Chuo Sangi In itu diabaikan. Pada
hakikatnya mereka tidak lebih dari pekerja paksa. Seperti halnya di Yogyakarta,
tepatnya di desaTimbul Harjo, Bantul, pengerahan romusha dilakukan oleh
perangkat desa dengan cara mendatangi keluarga-keluarga yang memiliki
tenaga potensial untuk dijadikan romusha. Keluarga yang menolak, mereka
ditakut-takuti akan dikucilkan. Jika anak yang diminta itu tidak berada
dirumah, mereka biasanya mencari kesawah dan kalau sudah ketemu dibawa secara
paksa ketempat pengerahan.
Selama berada di tempat
kerja sampai pulang ke kampung halamannya, ternyata romusha mendapat
fasilitas sangat minim dan banyak yang tidak diberiupah, tetapi tidak
dapat menuntut karena memang tidak ada perjanjian kerja tertulis. Mereka
dikerahkan menjadi tenaga kerja paksa dan buruh yang diberi upah
selayaknya. Sebelum penyerahan Belanda kepada Jepang tanggal 8 Maret 1942,
Jepang
telah memperhitungkan bahwa Pulau Jawa akan mampu menyediakan tenaga manusia dalam jumlah yang memadai untuk memenangkan perang. Perhitungan itu didasarkan atas kenyataan bahwa jumlah penduduk di Pulau Jawa sangat banyak, ditambah lagi dengan pertumbuhannya yang begitu pesat. Sehingga Jepang tidak bakal mengalami kesulitan dalam hal kebutuhan tenaga kerja romusha, karena disamping itu jumlah persediaan manusia cukup juga biaya murah. Tenaga diambil secara paksa, dan tidak perlu banyak pengeluaran biaya baik untuk makan maupun pengobatan. Begitu pula untuk mencari pengganti bagi tenaga romusha yang mati, karena di Jawa terdapat persediaan manusia cukup banyak. Berdasarkan pola pemikiran itulah maka Jepang dengaleluasan memanfaatkan tenaga manusia yang ada di PulauJawa dan dengan matinya beribu-ribu romusha seakan-akan tidak menjadi beban moral.
telah memperhitungkan bahwa Pulau Jawa akan mampu menyediakan tenaga manusia dalam jumlah yang memadai untuk memenangkan perang. Perhitungan itu didasarkan atas kenyataan bahwa jumlah penduduk di Pulau Jawa sangat banyak, ditambah lagi dengan pertumbuhannya yang begitu pesat. Sehingga Jepang tidak bakal mengalami kesulitan dalam hal kebutuhan tenaga kerja romusha, karena disamping itu jumlah persediaan manusia cukup juga biaya murah. Tenaga diambil secara paksa, dan tidak perlu banyak pengeluaran biaya baik untuk makan maupun pengobatan. Begitu pula untuk mencari pengganti bagi tenaga romusha yang mati, karena di Jawa terdapat persediaan manusia cukup banyak. Berdasarkan pola pemikiran itulah maka Jepang dengaleluasan memanfaatkan tenaga manusia yang ada di PulauJawa dan dengan matinya beribu-ribu romusha seakan-akan tidak menjadi beban moral.
Jumlah orang-orang yang
menjadi romusha diperkirakan mencapai 4-10 juta orang. Tenaga romusha
diperoleh dari desa-desa di Jawa yang padat penduduknya melalui program
Kinrohosi/kerjabakti. Pada awalnya mereka melakukannya dengan sukarela, lambat
laun karena terdesak perang Pasifik maka pengerahan tenaga diserahkan pada
panitia pengerahan (Romukyokai) yang ada di setiapdesa. Waktu itu setiap kepala
keluarga diwajibkan menyerahkan seorang anak lelakinya untuk berangkat menjadi
romusha. Namun bagi golongan masyarakat kaya seperti pedagang, pejabat,
orang-orang Cina dapat menyogok pejabat pelaksana pengerahan tenaga atau dengan
membayar kawan sekampung yang miskin untuk menggantikannya sehingga terhindar
dari kewajiban untuk menjadi romusha.
Pemerintah jepang terus melancarkan kampanye
pengerahan romusha yang diberi sebutan "“ perajurit ekonomi
“" atau "“ pahlawan kerja “" yang digambarkannya
sebagai orang yang sedang menjalani tugas suci guna memenangkan perang Asia
Timur Raya. Pada waktu itu pemerintah berhasil mengerahkan romusha keluar jawa
sebanyak 300.000 orang, sedangkan sekitar 70.000 orang dalam keadaan yang
menyedihkan.
Pada pertengahan tahun
1943, para romusa semakin di eksploitasi oleh Jepang. Karena kekalahan
Jepang pada Perang Pasifik, Romusa romusa ini digunakan sebagai tenaga
swasembada untuk mendukung perang secara langsung. Karena disetiap angkatan
perang Jepang membutuhkan tenaga tenaga kerja paksa ini untuk mengefisiensikan
biaya perang Jepang. Pada situasi seperti ini, permintaan terhadap romusa
semakin tak terkendali.
Jika kita melihat angka
tahunnya, proyek romusa di Indonesia be rjalan dalam tempo dua tahun.
Bukanlah waktu yang pendek untuk menghasilkan penderitaan dan kematian
sebagaimana yang terungkap dalam data diatas. Barulah pada tahun 1945, Hindia
Belanda merdeka menjadi Indonesia, serta mengakhiri proyek dan impian
kolonialisasi Jepang.
PM Jepang Junichiro Koizami
menyampaikan permintaan maaf yang mendalam atas kekejaman balatentaranya pada
Perang Dunia II (1942-1945) yang mengakibatkan penderitaan rakyat di kawasan
Asia. Permintaan maaf tersebut disampaikan saat bertemu Presiden RRC Hu Jintao
di se la-sela KTT Asean 2005 di Jakarta.
Tampaknya, permintaan
maaf itu tidak hanya ditujukan pada Cina dan Korea Selatan, tapi juga negara
Asia termasuk Indonesia yang diduduki Jepang saat PD II. Akibat penjajahan
Jepang selama tiga setengah tahun rakyat Indonesia mengalami penderitaan luar
biasa.
Hanya di awal pendudukan, Jepang bersikap baik.
Setelah itu mereka sangat kejam. Makanan, pakaian, barang, dan obat-obatan
menghilang dari pasaran. Karena sulit pakaian, banyak rakyat memakai celana
terbuat dari karung goni. Sedangkan wanita menggunakan kain dari karet yang
panas menempel di tubuh. Hanya orang berada yang memiliki baju seadanya. Yang
paling menyedihkan, rakyat sulit mendapat obat-obatan. Termasuk di rumah-rumah
sakit. Mereka yang menderita koreng dan jumlahnya banyak sekali, sulit
mendapatkan salep. Terpaksa uang gobengan di gecek dan ditemplok ke tempat yang
sakit sebagai ganti perban.
Sepeda kala itu bannya terbuat dari karet, atau ‘ban
mati’. Di sekolah-sekolah buku tulis terbuat dari kertas merang. Potlot dari
arang, hingga sulit sekali menulis. Masa itu, banyak orang berebut makanan
bekas di bak-bak sampah. Bila ada mayat di jalan tidak lagi mengagetkan. Jepang
mengajarkan rakyat makan bekicot yang oleh orang Betawi disebut ‘kiong racun’.
Radio yang hanya dimiliki beberapa gelintir orang disegel. Hanya boleh
mendengarkan siaran pemerintah Dai Nippon. Ketahuan menyetel siaran luar negeri
dapat hukuman berat. Orang akan bergidik bila mendengar Kempetai atau polisi
militer Jepang.
Pada malam hari seringkali terdengar sirene kuso
keho sebagai pertanda bahaya serangan udara dari tentara sekutu. Rakyatpun
setelah memadamkan lampu cepat-cepat pergi ke tempat perlindungan. Di halaman
rumah-rumah kala itu digali lobang untuk empat atau lima orang bila terdengar
sirene bahaya udara.
Kekejeman Jepang itu pernah difilmkan dengan judul
Romusha, istilah Jepang yang berarti pekerja paksa. Film produksi 1972 yang
telah lolos sensor itu tidak beredar karena ditahan oleh Deppen. Alasannya,
mengganggu hubungan Indonesia-Jepang. Pada masa Orba, kebijakan pemerintah
sulit dilawan. Meskipun ada sedikit protes dari pihak perfilman, tapi Deppen
yang mendapat perintah dari ‘atasan’ tidak meladeninya. Konon, larangan film
tersebut, seperti dituturkan produsernya Julies Rofi’ie, atas tekanan
pemerintah Jepang.
Ratusan ribu tenaga kerja romusha dikerahkan dari
pulau Jawa ke luar Jawa, bahkan ke luar wilayah Indonesia. Mereka diperlakukan
tidak manusiawi sehingga banyak yang menolak jadi romusha. Dan, Jepang pun
menggunakan cara paksa: setiap kepala daerah harus menginventarisasikan jumlah
penduduk usia kerja, setelah mereka dipaksa jadi romusha. Ribuan romusha
dikerahkan ke medan pertempuran Jepang di Irian, Sulawesi, Maluku, Malaysia,
Thailand, Burma dan beberapa negara lainnya. Banyak kisah-kisah sedih yang
mereka alami di hutan belukar, hidup dalam serba kekurangan dan di tengah
ancaman bayonet. Sampai kini masih banyak eks romusha korban PD II mengajukan
klaim agar Jepang membayar konpensasi gaji mereka yang tidak dibayar selama
jadi romusha.
4.
Dampak
Romusha.
Romusha
memberikan akibat yang mendalam bagi bangsa indonesia meskipun Jepang menjajah
Indonesia hanya seumur jagung apa yang dikatakan oleh ramalan Joyoboyo, atau
lebih tepatnya 3 ½ tahun jepang menjajah indonesia yaitu pada tahun 1942-1945
tetapi dalam waktu yang sesingkat itu memumbuhkan dampak yang sangat mendalam
bagi bangsa indonesia karena pada waktu itu sangat menderita dengan adanya
romusha rakyat indonesia hidup bagaikan tulang tanpa daging pakaian
compang-camping kelaparan dimana-mana atau rakyat indonesia dibawah titik nadir
masyarakat yang terbelakang, miskin, teringgal untuk lebih khusus lagi akan
dipaparkan dampak dari Romusha sebagai berikut:
A. Bidang
Ekonomi:
Keadaan
ekonomi di Indonesia mengalami kemerosotan. Penyebabnya antara lain adalah
sebagai berikut:
a. Para
penyuluh pertanian bukan tenaga-tenaga ahli pertanian.
b. Hewan-hewan
yang berguna bagi pertanian banyak yang dipotong.
c. Kurangnya
tenaga kerja petani karena banyak yang dijadikan romusha.
d. Banyaknya
penebangan hutan liar.
e. Kewajiban
menyerahkan hasil bumi.
B. Bidang
Sosial dan Budaya:
kepala–kepala desa dan camat yang
bertanggung jawab dalam pelaksanaan itu sering menunjukkan untuk menjadi
romusha dipilih orang–orang yang tidak mereka sukai atau dipilih orang yang
ditakuti oleh masyarakat desa setempat. Berjuta- juta rakyat menderita
kelaparan dan serba kekurangan.Dijalankannya program kerja tanam paksa romusha
lebih menambah hancurnya perasaan ketentraman masyarakat jawa. Pengaruh buruk
dari sistem romusha itu masih ditambah lagi oleh pelaksanaan setempat yang
memungkinkan dapat dibelinya pengecualian atau kewajiban menjadi romusha.